Pangkas jalur distribusi
Lantas apa solusinya? Untuk meringankan beban masyarakat, kita tidak bisa hanya mengandalkan inflasi rendah sebagai indikator kesejahteraan. Pemerintah harus memastikan distribusi bahan pokok lancar dan bebas spekulasi harga agar tercapai stabilisasi harga bahan pokok. Bayangkan betapa lega rasanya kalau bahan pokok seperti beras, gula atau minyak goreng bisa dibeli lebih murah di lingkungan kita sendiri. Pemerintah perlu rutin mengadakan pasar murah di kelurahan atau desa. Tak hanya untuk momen-momen tertentu seperti Ramadan, tapi sepanjang tahun. Dengan begitu, ibu-ibu tak perlu cemas menghitung-hitung uang belanja tiap hari.
Baca Juga: Program Rumah Rakyat Diusulkan Masuk PSN
Memangkas jalur distribusi. Jika petani atau produsen bisa langsung menjual hasil panennya ke pasar atau melalui koperasi, harga bisa lebih terjangkau. Distribusi yang efisien juga berarti bahan pokok sampai lebih cepat dan segar ke tangan konsumen. Kadang kita lupa bahwa Indonesia kaya akan sumber pangan selain beras. Singkong, jagung atau sorgum bisa jadi alternatif.
Pemerintah perlu menggalakkan kembali konsumsi pangan lokal, sekaligus membantu petani memasarkan produk-produk ini. Kalau masyarakat mulai terbiasa, ketergantungan pada beras bisa berkurang, dan harga pun jadi lebih terkendali. Upah yang diterima sering kali tak cukup untuk mengejar kenaikan harga barang. Pemerintah perlu memastikan gaji terutama upah minimum benar-benar disesuaikan dengan kondisi lapangan, termasuk harga bahan pokok. Jangan sampai masyarakat terus merasa "gaji segini-gini aja, tapi harga terus naik."
Baca Juga: Persaingan Kian Ketat di Industri Telekomunikasi
Kartel dan spekulasi harga sering kali menjadi biang kerok kenaikan bahan pokok. Ini harus diberantas tuntas sampai ke akarnya. Pemerintah harus tegas terhadap pelaku yang bermain curang demi keuntungan pribadi.
Mahalnya harga bahan pokok bukan hanya soal angka, tetapi juga soal bagaimana masyarakat bisa hidup dari hari ke hari. Memastikan harga kebutuhan stabil bukan cuma persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan kemanusiaan.
Baca Juga: Upah Minimum Pekerja di Jakarta Rp 5,39 Juta
Pada akhirnya, kesejahteraan harus dirasakan semua orang. Oleh karena itu, inflasi rendah memang penting, tapi tanpa harga bahan pokok yang terjangkau, masyarakat tetap akan merasa hidup semakin mahal. Dengan menggabungkan pendekatan jangka pendek (subsidi dan stabilisasi harga) serta jangka panjang (reformasi struktural dan pemberdayaan), kita bisa memastikan tidak ada lagi yang merasa terpinggirkan dalam perjalanan menuju kesejahteraan nasional. Harga stabil, daya beli meningkat, kesejahteraan pun akan merata.
Kebanyakan menghindari barang-barang mahal agar bisa menyimpan lebih banyak uang. Namun hati-hati, memilih barang-barang murah justru bisa membuat Anda lebih merugi.Membeli barang-barang murah tapi mudah rusak atau Anda merasa tak nyaman menggunakannya, akan mendorong Anda untuk membeli yang baru. Beberapa orang sangat yakin harga yang mahal menjamin kualitas barang yang dibeli.Seperti dilansir dari Business Insider, Selasa (25/6/2013), guna mengetahui benda-benda apa saja yang dibeli konsumen dengan harga mahal, sebuah situs berita dan hiburan, Reddit mengadakan survei pada beberapa responden. Dari hasil survei tersebut, diperoleh 17 barang yang layak dibeli dengan harga mahal sebagai berikut:1. KasurMembeli kasur mahal bisa menghindarkan Anda dari sakit punggung yang sering dialami kebanyakan orang saat bangun tidur. Kesegaran saat bangun tidur membantu Anda menjalankan aktivitas seharian.2. Sepatu Anda tak perlu berhemat untuk kenyamanan kaki dan kenyamanan saat sedang berjalan.3. Akses internet cepatSekali saja Anda memilikinya, Anda tak akan merasa rugi sudah membayar mahal.4. Peralatan tukangPara pengrajin mengeluhkan harga alat-alat pertukangan yang mahal. Sementara pengrajin yang baik, tak akan keberatan membeli setumpuk peralatan mahal.5. RotiMerogoh kocek lebih untuk membeli roti dengan harga yang lebih mahal tak akan membuat Anda rugi. Kelezatan dan kelembutannya akan setimpal dengan uang yang Anda habiskan.6. Ballpoint Menghabiskan uang puluhan bahkan ratusan ribu untuk sebuah ballpoint terasa sangat konyol bagi kebanyakan orang. Namun kenyamanan dan kecepatan saat menulis tak bisa didapat dari ballpoint yang murah.7. Pisau irisMemotong dengan mudah dan mendapatkan kemudahan memasak, membuat pisau iris layak dibeli dengan harga mahal. Ketajamannya akan sesuai dengan harganya.8. SepraiSemakin mahal seprai yang Anda beli bisa menjamin kenyamanan saat tidur. Jadi jangan segan-segan membayar lebih untuk seprai yang Anda gunakan.9. SushiJangan pernah membeli sushi yang didiskon. Rasanya akan berbeda dengan sushi tanpa potongan harga.10. BraMembeli bra mahal akan berguna bagi kesehatan Anda. Kelebihannya adalah punggung Anda tak akan merasa sakit dan pakaian yang Anda kenakan akan terlihat pas.11. Sayuran segarMembeli sayuran segar dari petani dengan harga yang mungkin agak mahal akan memberikan Anda sajian rasa yang berbeda. Tomat contohnya, rasanya akan manis tapi nyaris pedas.12. Krim CukurMemilih krim cukur yang tepat akan menghindarkan Anda terluka saat mencukur kumis. Bahkan, rasanya lebih lembut dari bulu boneka.13. JeansAnda bisa membeli pakaian apapun dimana pun. Tapi tidak untuk benda yang satu ini. Jeans yang lebih mahal akan memastikan Anda merasa nyaman saat mengenakannya.14. TatoUntuk tato, semakin mahal biayanya, semakin cocok gambar yang Anda dapatkan di tubuh Anda.15. HeadphoneBerhentilah menggunakan headphone yang merupakan bonus dari produk elektronik yang Anda beli. Mulailah membeli headphone lain dan rasakan kualitasnya.16. WhiskeySedikit uang yang dikeluarkan untuk membeli minuman beralkohol ini, maka jangan salahkan kalau rasa dan aromanya juga tak begitu enak di lidah. Pilihlah whiskey yang berkualitas dengan kocek yang memang tak sedikit.17. Tas PunggungTas yang berkualitas akan dilengkapi dengan serangkain kantong-kantong praktis di dalamnya. Tak hanya itu, ritsleting-nya pun akan lebih tahan lama dibanding yang lain. Untuk mendapatkannya, jangan takut untuk mengeluarkan uang lebih banyak. (Ndw)
KUALA LUMPUR: Kerajaan mengakui akan berlaku kenaikan harga barang susulan kenaikan cukai dalam sektor tertentu khususnya melibatkan bahan api dan logistik tetapi akan melaksanakan semua langkah bagi mengawal kenaikan keterlaluan dan unsur pencatutan.
Timbalan Menteri Kewangan, Lim Hui Ying berkata, kerajaan justeru komited dalam mempertimbang pelbagai inisiatif kepada golongan B40 termasuklah penyasaran subsidi bersasar.
Bagaimanapun, beliau yakin peningkatan itu akan berlaku pada kadar yang terkawal.
“Kita akui sebarang kenaikan cukai dan harga dalam sektor penting boleh memberi kesan kepada harga barangan.
“Namun, kerajaan telah mengambil pendekatan berhati-hati dan mempertimbang pelbagai mekanisme untuk meminimumkan impak kos sara hidup rakyat termasuk pemberian subsidi bersasar yang dinikmati golongan b40 dan beberapa segmen masyarakat yang memerlukan selain bantuan dalam belanjawan yang telah diumumkan.
“Kerajaan menjangka kenaikan harga barang ini kekal pada kadar terkawal, namun kita tidak menafikan peningkatan kecil ini disebabkan faktor luaran seperti harga komoditi dan isu rantaian bekalan.
“Dalam hal ini, kenaikan gaji minimum adalah untuk meningkatkan pendapatan boleh guna rakyat yang berpendapatan rendah, sekali gus membantu mereka menangani kos sara hidup dengan lebih baik,” katanya menjawab soalan tambahan Mohd Nazri Abu Hassan (PN-Merbok) di Dewan Rakyat, hari ini.
Mohd Nazri meminta kementerian menjelaskan mengenai reformasi fiskal yang harus menjadi tumpuan kerajaan susulan langkah memperkenalkan cukai baharu memberi kesan dan bebanan kepada kos hidup rakyat.
Hui Ying dalam masa yang sama menjelaskan, kerajaan dengan kerjasama pelbagai industri terus komited meningkatkan keperluan barangan asas seperti beras dan minyak paket agar bekalan kekal stabil. – UTUSAN
Ibarat setelah makan di resto elit nan mewah, setelah itu tahu harganya sangat mahal, biasanya terbesit pikiran “kalau tau harganya mahal begini, tadinya makan di warteg saja bisa dapat 3 kali makan”. Seperti itulah umumnya restoran elit ketika mereka membandrol sajiannya dengan tawaran-tawaran menggiurkan.
Hal itulah yang persis menggambarkan harga para pemain Inggris sekarang ini di bursa transfer. Ibarat makanan mahal ala resto elit, walaupun rasanya mungkin sebelas dua belas sama warteg. Harga para pemain Inggris sekarang ini telah berubah.
Trennya menjadi mahal di bursa transfer. Lantas apa penyebabnya? Jawabannya sama seperti kenapa restoran elit itu harganya mahal. Ada beberapa faktor daya tarik yang menyertainya.
Faktor yang pertama terlihat jelas adalah media. Bagaimana seringnya pundit dan media-media Inggris terlalu menggembar-gemborkan para pemain Inggris. Kadang terkesan lebay dengan istilah “the next”. Seperti Andy Carroll ketika moncer di Newcastle, langsung dibilang “the next Alan Shearer”. Kemudian juga beberapa pemain yang secara performa dilebih-lebihkan seperti dulu ada Jack Wilshere, Danny Welbeck, dan masih banyak lagi. Dan lihat, mereka kini nasibnya kini seperti apa.
Akhir-akhir ini banyak ditemukan contoh kasus serupa seperti harga Jack Grealish yang ditebus dengan harga 100 juta pounds (Rp1,7 tirliun), kini di City mainnya seperti apa? Kemudian harga Sterling ketika dibeli City maupun kini dibeli Chelsea, harganya pun masih tergolong tinggi.
Belum lagi kapten abadi dunia akhirat Harry Maguire, Sancho, maupun Wan Bissaka ketika ditebus MU. Ramsdale dan Ben White yang ditebus Arsenal dari tim medioker dengan harga cenderung mahal. Ada juga Declan Rice yang dibandrol hingga 150 juta pounds (Rp2,6 triliun) meski sepi peminat. Memang sudah gila harga pasaran para pemain Inggris ini sekarang.
Memang, tak dipungkiri kualitas para pemain itu secara performa tak terlalu buruk-buruk amat. Bahkan dalam tim sebelumnya mampu berpengaruh besar. Dan tak jarang juga para pemain Inggris itu menjadi tulang punggung di klubnya. Namun tetap saja, mereka belum berada pada level untuk dihargai dengan nilai yang begitu tinggi.
Hal ini kadang berdampak pada pemain yang hanya “one season wonder” artinya hanya bermain bagus pada kurun waktu tertentu yang seketika menjadi buah bibir. Namun setelah itu tak tau kelanjutannya seperti apa.
Tentu faktor media bukan segalanya untuk mempengaruhi para pemain Inggris berharga mahal. Faktor lain yang menyertai ialah kebutuhan para klub-klub Inggris akan pemain berstatus “Homegrown Player”. Pemain yang masuk kriteria “Homegrown Player” adalah pemain berkebangsaan mana pun, tidak harus Inggris dan telah berada di klub yang terafiliasi dengan asosiasi sepakbola Britania Raya selama tiga tahun sebelum umur 21 tahun.
Jumlah “Homegrown Players” yang harus didaftarkan klub Inggris berjumlah 8 pemain dari total 25 pemain yang didaftarkan klub ke liga. Jika hanya ada 5 pemain saja, maka klub itu hanya bisa mendaftarkan pemainnya dengan total 22 pemain saja.
Aturan tersebut yang menjadikan kebutuhan akan pemain asli Inggris pun meroket. Peraturan ini sebenarnya cukup baik untuk memberdayakan pemain Inggris asli akademi agar bisa berkembang dan ikut bersaing di ketatnya kompetisi. Namun permasalahan yang terjadi adalah, kuota yang harus diisi oleh masing-masing tim sebanyak delapan pemain itu bukan jumlah yang sedikit.
Maka dari itu, sering para klub mengakalinya dengan menggunakan para pemain muda asli binaan yang belum matang sebagai penghangat bangku cadangan saja. Kalau semisal butuh untuk starting eleven, mereka biasanya akan mencari pemain Inggris yang kemampuannya sudah matang. Dan masalahnya, pemain seperti itu pasti sudah dibandrol mahal oleh klubnya karena tau banyak yang membutuhkannya.
Contohnya tim dengan banyak pemain asing adalah Manchester City. Maka klub kaya raya asal Manchester itu akan melakukan apa saja untuk mendapatkan pemain asli Inggris demi memenuhi kuota “Homegrown Player”. Terbukti Manchester City rela menggelontorkan uang dengan nominal besar untuk mendatangkan pemain seperti Sterling, Stones, Walker, Grealish maupun kini Kalvin Phillips.
Sekarang Banyak Klub Inggris Yang Kaya
Selain itu, alasan lain mengapa pemain berpaspor Inggris harganya mahal yakni karena banyak klub-klub Liga Inggris sekarang memiliki kekayaan berlimpah berkat para investor asing. Klub-klub Inggris ini rata-rata lebih kaya daripada kesebelasan di liga lainnya. Karena popularitas yang luas, peringkat hak siar televisi, dan biaya pemasukan yang otomatis tinggi. Hal ini yang membuat kondisi finansial kesebelasan Inggris lebih kuat.
Semakin kuat kondisi finansial sebuah kesebelasan, akan membuat mereka tak segan mengucurkan lebih banyak uang. Misalnya saja, ketika kesebelasan seperti Chelsea atau Manchester City datang menanyakan harga pemain ke sebuah klub, hanya klub bodoh yang akan meminta sedikit uang pada mereka.
Artinya, jika ada klub yang memiliki pemain muda berbakat asal Inggris dan diincar oleh klub besar, pastinya mereka akan menaikkan harga seenak jidat. Sebab, klub tersebut tahu bahwa klub yang mengincar pemainnya tersebut sanggup memenuhi harga yang mereka inginkan.
Dari beberapa faktor itu semua intinya adalah, ketika faktor kekuatan media ditambah dengan faktor kebutuhan dan disempurnakan oleh faktor peraturan, maka nilai harga pemain Inggris yang sebenarnya tidak terlalu spesial bisa menjadi berubah di luar nalar. Dan tren itu sepertinya akan terus berlanjut.
https://youtu.be/Nkga_lOXn5M
Sumber Referensi : thethletic, sportskeeda, givemesport
Rekening BCA menjadi salah satu pilihan favorit masyarakat Indonesia karena keamanannya, jaringan luas, serta kemudahan akses. Namun, memiliki rekening BCA…
Pemain Inggris Lebih Suka Main Di Negerinya Sendiri
Dari faktor “Homegrown Player, sebenarnya kita bisa melihat dampak lain yang menyertai, kenapa pemain Inggris itu harganya cenderung mahal. Kita lihat pada sisi kebetahan beberapa pemain Inggris bermain di liga negaranya sendiri. Bahkan kalau dilihat dari skuad timnas Inggris sekarang, mayoritas diisi oleh para pemain yang bermain di Liga Inggris.
Menengok Liga Inggris sendiri, kini notabene tak dipungkiri banyak dijajah para pemain top luar Inggris. Maka dari itu, preferensi dan status eksklusif para pemain Inggris terutama yang main di timnas sangat menjadi rebutan dan harganya pasti menjulang tinggi.
Pemain Inggris ini juga bisa dibilang terlalu betah bermain di negara sendiri. Faktanya, ada banyak pemain Inggris yang mencoba peruntungan di luar tanah Britania dan malah berujung flop. Ambil contoh, Michael Owen saat pindah ke Real Madrid.
Meskipun begitu, di era sekarang ini banyak juga yang bisa dikatakan berhasil, seperti Tomori, Smalling, Young, maupun Tammy Abraham yang merantau di Serie A. Itupun semua juga pemain reject dari Liga Inggris. Ditambah kualitas Serie A yang tentu saja berbeda dengan Liga Inggris.
Di Jerman pun dulu ada pemain seperti Owen Hargreaves, Jadon Sancho, maupun kini Jude Bellingham. Bahkan sekarang Bellingham dibandrol dengan harga yang tak masuk akal hingga ratusan juta pounds.
Pangkas jalur distribusi
Lantas apa solusinya? Untuk meringankan beban masyarakat, kita tidak bisa hanya mengandalkan inflasi rendah sebagai indikator kesejahteraan. Pemerintah harus memastikan distribusi bahan pokok lancar dan bebas spekulasi harga agar tercapai stabilisasi harga bahan pokok. Bayangkan betapa lega rasanya kalau bahan pokok seperti beras, gula atau minyak goreng bisa dibeli lebih murah di lingkungan kita sendiri. Pemerintah perlu rutin mengadakan pasar murah di kelurahan atau desa. Tak hanya untuk momen-momen tertentu seperti Ramadan, tapi sepanjang tahun. Dengan begitu, ibu-ibu tak perlu cemas menghitung-hitung uang belanja tiap hari.
Baca Juga: Program Rumah Rakyat Diusulkan Masuk PSN
Memangkas jalur distribusi. Jika petani atau produsen bisa langsung menjual hasil panennya ke pasar atau melalui koperasi, harga bisa lebih terjangkau. Distribusi yang efisien juga berarti bahan pokok sampai lebih cepat dan segar ke tangan konsumen. Kadang kita lupa bahwa Indonesia kaya akan sumber pangan selain beras. Singkong, jagung atau sorgum bisa jadi alternatif.
Pemerintah perlu menggalakkan kembali konsumsi pangan lokal, sekaligus membantu petani memasarkan produk-produk ini. Kalau masyarakat mulai terbiasa, ketergantungan pada beras bisa berkurang, dan harga pun jadi lebih terkendali. Upah yang diterima sering kali tak cukup untuk mengejar kenaikan harga barang. Pemerintah perlu memastikan gaji terutama upah minimum benar-benar disesuaikan dengan kondisi lapangan, termasuk harga bahan pokok. Jangan sampai masyarakat terus merasa "gaji segini-gini aja, tapi harga terus naik."
Baca Juga: Persaingan Kian Ketat di Industri Telekomunikasi
Kartel dan spekulasi harga sering kali menjadi biang kerok kenaikan bahan pokok. Ini harus diberantas tuntas sampai ke akarnya. Pemerintah harus tegas terhadap pelaku yang bermain curang demi keuntungan pribadi.
Mahalnya harga bahan pokok bukan hanya soal angka, tetapi juga soal bagaimana masyarakat bisa hidup dari hari ke hari. Memastikan harga kebutuhan stabil bukan cuma persoalan ekonomi, tetapi juga persoalan kemanusiaan.
Baca Juga: Upah Minimum Pekerja di Jakarta Rp 5,39 Juta
Pada akhirnya, kesejahteraan harus dirasakan semua orang. Oleh karena itu, inflasi rendah memang penting, tapi tanpa harga bahan pokok yang terjangkau, masyarakat tetap akan merasa hidup semakin mahal. Dengan menggabungkan pendekatan jangka pendek (subsidi dan stabilisasi harga) serta jangka panjang (reformasi struktural dan pemberdayaan), kita bisa memastikan tidak ada lagi yang merasa terpinggirkan dalam perjalanan menuju kesejahteraan nasional. Harga stabil, daya beli meningkat, kesejahteraan pun akan merata.
Ridho Ilahi | Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keluhan tentang mahalnya harga kebutuhan pokok dan menurunnya daya beli masyarakat kembali mencuat akhir-akhir ini. Anehnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) justru menunjukkan bahwa inflasi di Indonesia relatif rendah. Pada 2022, inflasi tercatat sebesar 5,42%, sedangkan pada 2023 hanya 2,86%. Bahkan hingga November 2024, inflasi berada pada tingkat 1,55%, dengan empat bulan berturut-turut mengalami deflasi. Lantas, mengapa masyarakat tetap merasa harga barang semakin mahal?
Inflasi adalah ukuran kenaikan harga barang dan jasa secara keseluruhan. Tapi di balik angka-angka tersebut, ada cerita yang lebih rumit. Kalau harga sebagian besar barang stabil atau turun, inflasi terlihat rendah meskipun harga beras, gula atau minyak goreng melambung tinggi. Di sinilah letak masalahnya. Bagi kebanyakan orang, terutama yang berpenghasilan rendah, barang-barang seperti beras atau minyak goreng adalah kebutuhan utama. Kalau harga barang-barang itu naik, mereka langsung merasa terpukul, meskipun inflasi secara keseluruhan tetap rendah.
Baca Juga: Langkah RI Menciptakan Mini World Bank, Pembiayaan Khusus Untuk Infrastruktur Daerah
Bayangkan dua keluarga, satu berpenghasilan tinggi dan satu lagi pas-pasan. Keluarga kaya membeli berbagai macam barang: kebutuhan pokok, barang mewah, hingga liburan. Kalau harga beras naik, hanya sedikit memengaruhi anggaran karena total pengeluarannya tersebar di banyak hal.
Sebaliknya, keluarga berpenghasilan rendah dominan menghabiskan pendapatan mereka untuk kebutuhan pokok. Jadi, kalau harga bahan makanan naik, dampaknya terasa sangat besar. Wajar jika mereka sering mengeluh. Ini sejalan dengan Hukum Engel, yang mengatakan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar proporsi penghasilannya yang dihabiskan untuk kebutuhan dasar. Kenaikan harga bahan pokok sedikit saja cukup membuat mereka kewalahan.
Baca Juga: Saham EMTK & SCMA Melejit, Berkat Kinerja Vidio Atau Sentimen Akumulasi Induk Usaha?
BPS mencatat inflasi makanan, minuman, dan tembakau (kelompok yang sering dikonsumsi masyarakat berpenghasilan rendah) mencapai 0,56% (mtm) pada November 2024. Bandingkan dengan inflasi umum yang hanya 0,24% (mtm) pada November 2024.
Jadi, meski inflasi terlihat rendah, bagi masyarakat miskin, kenyataan di lapangan sangat berbeda. Hal ini juga tecermin dari kenaikan garis kemiskinan (GK). Pada Maret 2024, GK berada di level Rp 582.932 per kapita per bulan, naik dari Rp 550.458 tahun sebelumnya. Dengan penghasilan segitu, orang miskin semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar, apalagi kalau penghasilannya tidak ikut naik.
Baca Juga: Melelang Harta Koruptor nan Mewah
Kenaikan GK menunjukkan untuk keluar dari kemiskinan pendapatan orang miskin harus tumbuh lebih cepat daripada inflasi. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 5% tidak cukup untuk mengejar kenaikan GK yang mencapai 5,9%. Kelompok rentan miskin juga berada dalam bahaya. Mereka yang sebelumnya "nyaris tidak miskin" bisa saja jatuh ke jurang kemiskinan jika harga bahan pokok terus naik tanpa diimbangi kenaikan pendapatan.
Ridho Ilahi | Statistisi Ahli Madya BPS Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Keluhan tentang mahalnya harga kebutuhan pokok dan menurunnya daya beli masyarakat kembali mencuat akhir-akhir ini. Anehnya, data Badan Pusat Statistik (BPS) justru menunjukkan bahwa inflasi di Indonesia relatif rendah. Pada 2022, inflasi tercatat sebesar 5,42%, sedangkan pada 2023 hanya 2,86%. Bahkan hingga November 2024, inflasi berada pada tingkat 1,55%, dengan empat bulan berturut-turut mengalami deflasi. Lantas, mengapa masyarakat tetap merasa harga barang semakin mahal?
Inflasi adalah ukuran kenaikan harga barang dan jasa secara keseluruhan. Tapi di balik angka-angka tersebut, ada cerita yang lebih rumit. Kalau harga sebagian besar barang stabil atau turun, inflasi terlihat rendah meskipun harga beras, gula atau minyak goreng melambung tinggi. Di sinilah letak masalahnya. Bagi kebanyakan orang, terutama yang berpenghasilan rendah, barang-barang seperti beras atau minyak goreng adalah kebutuhan utama. Kalau harga barang-barang itu naik, mereka langsung merasa terpukul, meskipun inflasi secara keseluruhan tetap rendah.
Baca Juga: Langkah RI Menciptakan Mini World Bank, Pembiayaan Khusus Untuk Infrastruktur Daerah
Bayangkan dua keluarga, satu berpenghasilan tinggi dan satu lagi pas-pasan. Keluarga kaya membeli berbagai macam barang: kebutuhan pokok, barang mewah, hingga liburan. Kalau harga beras naik, hanya sedikit memengaruhi anggaran karena total pengeluarannya tersebar di banyak hal.
Sebaliknya, keluarga berpenghasilan rendah dominan menghabiskan pendapatan mereka untuk kebutuhan pokok. Jadi, kalau harga bahan makanan naik, dampaknya terasa sangat besar. Wajar jika mereka sering mengeluh. Ini sejalan dengan Hukum Engel, yang mengatakan bahwa semakin rendah pendapatan seseorang, semakin besar proporsi penghasilannya yang dihabiskan untuk kebutuhan dasar. Kenaikan harga bahan pokok sedikit saja cukup membuat mereka kewalahan.
Baca Juga: Saham EMTK & SCMA Melejit, Berkat Kinerja Vidio Atau Sentimen Akumulasi Induk Usaha?
BPS mencatat inflasi makanan, minuman, dan tembakau (kelompok yang sering dikonsumsi masyarakat berpenghasilan rendah) mencapai 0,56% (mtm) pada November 2024. Bandingkan dengan inflasi umum yang hanya 0,24% (mtm) pada November 2024.
Jadi, meski inflasi terlihat rendah, bagi masyarakat miskin, kenyataan di lapangan sangat berbeda. Hal ini juga tecermin dari kenaikan garis kemiskinan (GK). Pada Maret 2024, GK berada di level Rp 582.932 per kapita per bulan, naik dari Rp 550.458 tahun sebelumnya. Dengan penghasilan segitu, orang miskin semakin sulit memenuhi kebutuhan dasar, apalagi kalau penghasilannya tidak ikut naik.
Baca Juga: Melelang Harta Koruptor nan Mewah
Kenaikan GK menunjukkan untuk keluar dari kemiskinan pendapatan orang miskin harus tumbuh lebih cepat daripada inflasi. Sayangnya, pertumbuhan ekonomi rata-rata sekitar 5% tidak cukup untuk mengejar kenaikan GK yang mencapai 5,9%. Kelompok rentan miskin juga berada dalam bahaya. Mereka yang sebelumnya "nyaris tidak miskin" bisa saja jatuh ke jurang kemiskinan jika harga bahan pokok terus naik tanpa diimbangi kenaikan pendapatan.